NIAT DALAM KAJIAN FIKIH

 NIAT DALAM KAJIAN FIKIH 

 

Kaidah Kubro Pertama

الأمور بمقاصدها

“Segala sesuatu (perbuatan) tergantung pada tujuannya”.

1.   Dasar Kaidah

            Segala sesuatu itu biasanya memiliki dasar, begitu pula dengan kaidah di atas yang memiliki dasar dan yang mendasari kaidah diatas ialah :[1]

A.    Al-Qur’an

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ.... (سورة البينة:5)

Yang artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama dengan lurus”.

 

Imam al-Qurthubi dalam kitabnya Tafsir Jami al-Ahkam  menafsirkan kata ad-din di atas dengan makna ibadah.[2] Dalam penafsirannya tersebut, beliau mengungkapkan bahwa ikhlas yang terdapat pada kata mukhlishin, ialah hati yang hanya dilakukan dalam rangka beribadah. Ikhlas sendiri memiliki makna pekerjaan hati yang hanya bisa terwujud melalui perantara niat, Maka dari itu, telah jelas bahwa ibadah dan niat memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan.

 

 

 

 

 

B.    Hadis

 

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِكُلِ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْه (رواه البخاري)[3]

Yang artinya : “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan. Maka siapa yang (niat) hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya. Maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa (niat) hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dihijrahkan (diniatkan). (H.R. al-Bukhori).

            Pada hadis diatas penyusun mengutip suatu pendapat dari Syeikh Yasin al-Fadani di dalam kitabnya yang berjudul Al-Fawa’id al-Janiyyah[4] yang menyatakan bahwa suatu kesempurnaan atau keabsahan dari suatu pekerjaan itu bergantung pada niat pelakunya.

 

2.   Prinsip-prinsip Niat

Niat sendiri terbagi menjadi beberapa prinsip, Adapaun pembagian ialah sebagai berikut :

 

A.    Substansi Niat

Adapun pengertian dari niat secara etimologi adalah kesengajaan atau tujuan. Sedangkan menurut pengerian syariat ialah ketetapan hati untuk melakukan sesuatu.[5] Tapi al-Mawardi dan Ibnu Hajar sebagai Fuqaha’ atau ahli fiqih, mereka mendefinisikan bahwa niat adalah kesengajaan melakukan suatu perbuatan yang dilakukan bersamaan dengan pelaksanaannya. Akan tetapi definisi tersebut ditolak oleh Ibrahim al-Kurdi.[6] Beliau berpendapat bahwa definisi tersebut belum bisa dimasukkan ke dalam niat puasa yang mana tidak dilakukan bersamaan dengan puasa itu sendiri dan juga di dalam hadis shahih karya imam al-Bukhori dengan urutan hadis ke-6491 tertulis bahwa jika ada orang yang berniat untuk melakukan suatu kebaikan dan hal tersebut tidak terlaksanan maka ia akan tetap mendapatkan satu pahala baginya.[7]

Imam al-Baydlawi[8] pun turut memberikan pendapatnya tentang definisi niat, menurut beliau, niat adalah kehendak yang mendorong sesorang melakukan suatu perbuatan dengan motif semata-mata mencari ridho Allah SWT.

 

B.    Status Niat

Dalam menentukan status niat dalam beribadah, para Fuqaha berbeda pendapat. Dan perbedaan tersebut disebabkan oelh perbedan sudut pandang dan masalah yang mereka hadapi. Ada ulama yang berpendapat bahwa niat adalah rukun, hal tersebut dilihat dari sisi penyebutan niat harus dilakukan pada permulaan ibadah. Akan tetapi ada ulama yang berpandangan bahwa niat harus tetap ada (tidak ada perbuatan yang bertentangan dan memutus niat) dan niat itu sendiri menjadi syarat.[9] Dan juga ada beberapa pendapat ulama mengenai status niat, sebagai berikut :

·       Segolongan Ulama

Menurut segolong ulama, niat adalah rukun, sebab niat termasuk dalam ibadah itu sendiri.

 

·       Al-Qadli Abu Thayyib[10] dan Ibnu Shabbagh[11]

Menurut mereka berdua, niat itu adalah syarat, karena jika tidak dikatakan syarat, maka dinamakan rukun, dan tentu niat akan membutuhkan  niat lagi, dan begitu seterusnya, sehingga terus terjadi mata rantai yang tidak ada habis (tasalsul).[12]

·       Al-Ghazali[13]

Menurut beliau di dalam puasa, niat merupakan rukun sedangkan dalam shalat adalah syarat.[14]

Taqiyudin al-Hishni dalam kitabnya yang berjudul Kitab al-Qawaid[15], menanggapi perbedaan pendapat di atas, yang mana beliau menyatakan bahwa “Setiap pekerjaan yang keabsahannya tergantung pada niat, maka ia dinamakan rukun dalam pekerjaan itu.” Seperti shalat, yang tidak akan sah bila ditunaikan tanpa niat. Sedangkan suatu pekerjaan yang bisa sah tanpa niat, akan tetapi untuk mendapatkan pahalanya masih tergantung pada niat, seperti belajar. Melalui usaha al-Hishni ini yang mencoba menyatukan perbedaan pendapat di atas, maka perbedaan yang beraneka ragam itu akan cair dengan sendirinya.

 

C.    Tempat Niat

Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al Bari yang salah satu hadisnya berbunyi ‘Innama al-A’mal Bi al-Niyyat, terdapat kata al-niyah yang mana redaksinya menggunakan bentuk kata benda tunggal dan bukan dengan kata al-niyyat yang menggunakan bentuk kata benda jamak. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi bahwa tempat niat itu hanya satu yaitu hati. Berbeda dengan kata al-a’mal yang menggunakan bentuk kata benda jamak, yang menyatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang memang tidak hanya satu macam akan tetapi bermacam-macam.

 

D.    Waktu Pelaksanaan Niat

Secara umum, pelaksanaan niat ialah pada awal ibadah. Akan tetapi, para ulama masih memberikan toleransi terhadap beberapa ibadah yang disesuaikan dengan faktor dan kesulitan pelaksanaannya. Dan juga kemampuan seorang yang berniat juga perlu dipertimbangkan. Adapun faktor yang menjadi pertimbangan para ahli fiqih adalah permulaan suatu ibadah bersifat nisbi dan relatif, maksudnya permulaan amal ibadah yang satu dengan yang lain itu berbeda.

            Ada beberapa contoh niat yang boleh didahulukan karena faktor kesulitan membersamakan dengan permulaan ibadah, contoh:

·       Kafarah

Permasalah kafarah sama dengan zakat, kesulitan akan muncul ketika niat harus dilakukan bersamaan dengan pembagian kafarah pada komunitas yang berhak menerimanya

·       Penyembelian hewan kurban

Ulama membolehkan untuk mendahulukan niat sebelum penyembelihan hewan kurban, seperti halnya dalam permasalah zakat dan puasa.

E.    Hal-hal yang membatalkan niat

Adapun hal-hal yang dapat membatalkan suatu niat diantaranya ialah:[16]

·       Riddah atau murtad, ialah terputusnya agama islam seseorang, baik disebabkan dari niat, ucapan, atau perbuatan yang kufur. Riddah dapat membatalkan ibadah walaupun ibadah yang dilakukan hanya sebatas perbuatan lahir (shuwairiyah) dan tidak murni atas inisiatif dari pelaku. Seperti riddah yang terjadi pada anak kecil yang sedang shalat, maka menurut al-Rawyani, shalatnya batal apalagi hal ini dilakukan oleh orang dewasa.

·       Berniat memutus atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan. Contohnya orang yang melakukan shalat, lalu ia berniat menghentikan shalatnya, maka shalatnya menjadi batal.

·       Qalb atau Niat mengganti atau memindah (naql) satu ibadah dengan ibadah lain. Contoh dalam tersebut ialah sebagai berikut:

1.     Mengganti niat shalat fardhu dengan shalat fardhu lainnya atau shalat sunnah dengan shalat sunnah lainnya, seperti niat shalat dzuhur diganti dengan niat shalat ashar atau niat shalat dhuha dengan niat qabliyah dzuhur, maka kedua-duanya menjadi tidak sah.

2.     Mengganti shalat sunnah dengan shalat fardhu, seperti shalat witir diganti dengan shalat dhuha. Maka tidak sah.

3.     Mengganti shalat fadhu dengan shalat sunnah. Hal ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, merubah niat yang berpengaruh pada hukumnya saja. Contoh : ketika orang yang shalat dzuhur tetapi tidak tahu bahwa matahari masih belum condong ke arah barat atau belum masuk waktu dzuhur, maka shalat tersebut berubah hukumnya menjadi sunnah. Kedua, mengganti niat shalat fardhu dengan shalat sunnah dan dilakukan dengan sengaja tanpa adanya udzur, contohnya shalat fardhu dzhur yang diniati shalat sunnah, maka shalat fardhunya batal dan tidak dihukumi sunnah. Akan tetapi bila mengganti niat tersebut dikarenakan suatu udzur, seperti orang yang shalat dzuhur sendiri di masjid dan ternyata ia baru mengetahui bahwa ada jamaah shalat fardhu di masjid tersebut, lalu ia menganti niatnya dengan shalat sunnah dan mengakhiri shalat fardhunya dengan salam setelah dua raka’at agar bisa mengikuti shalat berjama’ah. Maka shalat dzuhur dua raka’atnya tadi dihukumi dengan shalat sunnah.[17]

·       Orang yang berniat tidak mampu untuk melaksanakan ibadah yang diniati. Hal tersebut terbagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:

1.     Tidak mampu yang ditinjau dari sudut pandang akal.

Yaitu dua hal yang berlawanan dan tidak mampu dilaksanakan dan diniatkan dalam satu waktu, seperti : orang yang berwudhu dengan niat untuk mendirikan shalat sekaligus tidak mendirikan shalat secara bersamaan. Wudhu yang semacam ini dihukumi tidak sah oleh ahli fiqih dan dianggap main-main dalam beribadah atau disebut dengan tala’ub.

2.     Tidak mampu yang ditinjau menurut syari’at.

Contohnya orang yang brwudhu dengan berniat untuk shalat di tempat yang terkena najis. Memang menurut nalar, hal tersebut dapat dilakukan. Akan tetapi menurut syari’at, hal tersebut tidak dapat dilakukan atau dihukumi tidak sah menurut para ulama fiqih seperti Imam al-Syawbari (977-1087 H), walaupun ulama lain berpendpat bahwa hal tersebut sah saja.

3.     Tidak mampu yang ditinjau dari kebiasaan umum.

Contohnya orang yang berwudhu di bulan Muharram untuk melaksanakan shalat Hari Raya pada bulan Syawal, sedangkan jarak waktu antara dua bulan tersebut cukup lama sekitar 10 bulan. Dalam nalar otak sendiri hal ini sangat sulit terjadi bagi seseorang untuk mempertahankan wudhunya selama 10 bulan, sehingga imam al-Rawyani berpendapat bahwa hal itu dianggap tidak sah. Walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa hal tersbut sah selama ia bisa mempertahankan wudhunya dan menurut penyusun sendiri hal tersebut hanya biasa dilakukan oleh para orang alim yang memiliki ilmu yang banyak dan cukup dengan hubungan nya dengan Allah SWT dan rasulnya atau juga bisa kita sebut orang tersebut adalah orang yang sufi.

 

 

F.    Syarat-syarat Niat

Sebagaimana ibadah yang memiliki syarat-syarat tertentu untuk melakukan ibadah tersebut. Niat juga termasuk ibadah yang mana memiliki syarat-syarat tertentu, diantara syarat-syarat niat ialah:

·       Islam

·       Tamyiz (dapat membedakan baik dan buruk)

·       Mengetahui apa yang diniatkan (al-manwi)

·       Tidak mengandung hal-hal bertentangan antara niat dan manwi-nya.

G.   Teknis Pelaksanaan Niat

Menurut Abdullah bin Sulaiman al-Jarhazi dalam kitabnya al-Mawahib al-Saniyyah[18], niat dalam pelaksanaannya ialah sesuatu yang kondisional tergantung obyek yang diniati. Seperti dalam pengerjaan wudhu, maka yang kita niati adalah pembersihan penghalang shalat seperti hadats. Berbeda dengan shalat, yang diniatkan ialah melakukan pekerjaan dan ucapan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Begitu juga dengan ibadah lainnya yang memiliki obyek yang diniati sendiri.

3. Ta’yin Niat

Selain melakukan niat, kita juga diharuskan untuk melakukan spesifikasi terhadap apa yang kita niati. Proses inilah yang kita sebut dengan ta’yin niat. Adapun ta’yin niat itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut :

A.    Ta’yin Ijmali

Ialah proses spesifikasi terhadap apa yang diniati secara umum contohnya dalam shalat, kita diharuskan untuk menspesifikasikan shalat apa yang ingin kita niatkan, lalu apakah kita melakukan shalat dengan sendiri (munfarid), atau menjadi imam atau makmum, dan seterusnya. Dan apabila ta’yin diwajibkan hanya secara ijmal atau umum, dan tidak diwajibkan untuk ta’yin secara tafsil atau rinci, lalu jika ia melakukan ta’yin secara tafsil akan tetapi salah, maka hal tersebut membatalkan pekerjaan yang dilakukannya. Contohnya ketika seseorang berniat menjadi makmum dari Bakr, akan tetapi yang sebenarnya berada di depannya adalah Umar, maka shalatnya itu batal. Dikarenakan kewajiban seorang makmum itu hanya berniat untuk menjadi makmum secara ijmal, bukan menentukan siapa imamnya dengan cara tafsil seperti itu. Sebagaimana tertulis di dalam kitab Mabadi Awaliyah pada kaidah yang ketiga.[19]

B.    Ta’yin Tafsili

Ialah proses spesifikasi terhadap apa yang diniati secara terperinci. Akan tetapi apabila suatu ibadah yang tidak diwajibkan secara tafsil maupun ijmal seperti seorang imam yang mengimami makmum nya, kemudian ia berniat menjadi imam dengan menyebutkan nama makmumnya yaitu Joni, akan tetapi sebenarnya makmunya itu ialah Jono, maka shalatnya tidak batal. Sebagaimana yang tertulis pada kaidah keempat di dalam kitab Mabadi Awaliyyah karya Abdul Hamid Hakim.[20]

 

4.   Niat dalam Ibadah dan Bukan Ibadah

·       Niat dalam ibadah

Sebagaimana kita ketahui dari pemaparan-pemaparan sebelumnya bahwa niat dalam ibadah itu terbagi menjadi beberapa kelompok menurut para ahli fiqih dalam menghukuminya, ada yang menghukumi rukun seperti niat dalam puasa dan ada juga yang menghukuminya dengan syarat seperti dalam shalat.

·       Niat di luar ibadah

Dapat kita lihat dari pemaparan-pemaparan yang ada, pembahasan tentang niat seakan hanya berada dalam ranah ibadah saja. Padahal tidak seperti itu. Niat dalam masalah-masalah yang ada di luar ibadah pun tidak lepas dari kaidah “al- Umuru Bimaqashidiha”. Diantara persoalan hukum yang dicakup oleh kaidah ini ialah akad-akad atau transaksi yang bisa diungkapkan dengan kinayah.[21] Ungkapan ini mengharuskan pelaku transaksi atau akad untuk berniat agar transaksi yang dilakukan dianggap sah atau legal secara syar’i. Maka dari itu para ahli fiqih secara garis besar membagi bentuk-bentuk kegiatan tersebut menjadi dua kelompok, yaitu sebagai berikut :[22]

1.     Kegiatan yang dapat dilakukan seorang diri dan tidak membutuhkan ijab-qabul.[23]Contohnya adalah talak, yang bisa dilakukan oleh pihak suami tanpa melibatkan pihal istri. Contoh lainnya ialah memerdekakan budak, berwasiat, mewakafkan harta benda, dll. Semua itu dapat dilakukan dengan sepihak dan dianggap sah dengan perbuatan yang disertai niat.

2.     Kegiatan yang harus dilakukan dua atau lebih pihak yang bertransaksi dan harus melalui ijab-qabul. Salah satu contohnya ialah trasaksi jual beli, sewa menyewa, tanam menanam, dll.

 

 

5.   Kaidah-kaidah Turunan dan pengaplikasiannya dalam kehidupan

Adapun kaidah-kaidah  yang termasuk dalam kaidah kubro “Al-umuru Bimaqhashidiha ialah sebagai berikut :

1)  مَالَا يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَ تَفْصِيْلاً إِذَا عَيَّنَهُ وَ أَخْطَأَ لَمْ يَضُرَّ

Sesuatu amal yang dalam pelaksanaannya tidak disyaratkan untuk dijelaskan/dipastikan niatnya, baik secara garis besar maupun secara terperinci, kemudian dipastikan dan ternyata salah, maka hal tersebut tidak membahayakan (syahnya amal)”          

Contohnya seperti yang telah tertulis di penjelasan tentang ta’yin tafsili.

2)  وَمَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ التَّعَرُّضُ فَالْخَطَأُ فِيْهِ مُبْطِلٌ

“ Suatu amal yang dalam pelaksanaannya disyaratkan kepastian niatnya, maka kesalahan dalam memastikannya akan membatalkan amal.”

Contohnya orang yang ingin mengerjakan shalat fardhu maghrib, maka ia harus menguatkan niatnya bahwa ia berniat untuk melaksanakan shalat fardhu maghrib, karena tidak sah mengerjakan shalat fardhu maghrib dengan niat shalat ashar.

3)  وَمَا يَجِبُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَلَا يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْصِيْلاً إِذَا عَيَّنَهُ وَ أَخْطَأ َضَرَّ

Suatu amal yang niatnya harus dipastikan secara garis besar, tidak secara terperici, kemudian dipastikan terperinci dan ternyata salah, maka membahayakan sahnya amal.”

Contohnya sebagaimana telah tertulis di penjelasan tentang ta’yin ijmali di atas.

4)  اَلنِّيَّةُ فِي الْيَمِيْنِ تُخَصِّصُ اللَّفْظَ الْعَامَ وَلَاتُعَمِّمُ الْخَاصَ

Niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz ‘aam, tidak menjadikan ‘aam lafadz yang khos.”

Contohnya : orang yang bersumpah tidak akan berbicara dengan orang, tetapi orang yang dimaksud ialah seseorang tertentu, yaitu Rani, maka sumpahnya hanya berlaku untuk Rani, dan tidak berlaku untuk yang lainnya.

5)    مَقَاصِدُ اللَّفْظِ عَلَي نِيَّةِ اللَّافِظِ إِلَّا فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ وَ هُوَ الْيَمِيْنُ عِنْدَ الْقَاضِي فَإِنَّهَا عَلَي نِيَّةِ الْقَاضِي.

Maksud dari lafadz adalah menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat, yaitu sumpah di hadapan qadhi. Dalam keadaan demikian maka maksud lafadz adalah menurut niat qadhi.”

Contohnya : Seorang suami memanggil istrinya yang Thaliq (yang ditalak) atau seorang majikan memanggil budaknya yang bernama Hurrah (yang dimerdekakan). Maka apabila panggilannya itu dengan maksud mentalak istrinya atau membebaskan budaknya, maka sah talak nya akan istrinya dan kemerdekaan budak atas tuanya.[24]

6)    اَلْعِبْرَةُ فِي الْعُقُوْدِ لِلْمَقَاصِدِ وَ الْمَعَانِي لَا لِلْأَلْفَاظِ وَ اْلمَبَانِي

Yang dianggap (dipegangi) dalam akad adalah maksud-maksud dan makna-makna, bukan lafadz-lafadz dan bentuk-bentuk perkataan.”

Ketika dalam suatu akad terjadi suatu perbedaan antara niat/ maksud pelaku dengan lafadz yang diucapkannya, maka yang harus dianggap sebagai suatu akad adalah niat/maksudnya. Selama yang demikian itu masih dapat diketahui.

Maka dari itu, jika ada dua orang yang mengadakan suatu akad dengan lafadz memberi barang dengan syarat adanya pembayaran harga barang itu, maka ada ini dipandang sebagai akad jual beli, karena akad inilah yang ditunjuki oleh maksud dan makna daripada si pembuat akad, bukan akad pemberian, sebagaimana yang dikehendaki oleh lafadz.[25]

 

 

 

 



[1] Abdul Mujib, al-Qowa-idul Fiqhiyyah, Kalam Mulia, Jakarta, Cet.ke-10, 2016, hal. 10-11

[2] Abu Abdillah al-Qurthubi, Tafsir Jami al-Ahkam, Daar al-Syu’ab, Kairo, Mesir, 1372 H, hal. 144

[3] Muhammad al-Bukhori, Shahih Bukhori, Daar Thauq an-Najaat, Cet.Ke-1, 2001, hal. 6

[4] Abu al Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, al-Fawaid al Janiyyah, Dar al-Fikr, Beirut, Cet. Ke-1, 1997, hal. 109

[5] ‘Abdullah al-Jarhazi, al-Mawahib al-Saniyyah, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon, Cet.ke-1, 1997, hal. 110

[6] Burhanuddin Ibrahim bin Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Syahrazuri ialah nama lengkap beliau. Beliau Lahir pada tahun 1025 H dan wafat pada tanggal 18 Jumadil Ula 1101 H. Dimakamkan di Baqi’ Madinah.

[7] Ibnu Hajar al-Atsqolany, Fathu al-Bari Bi Syarhi Shahih al-Bukhori, Dar al-Hadis, Kairo, Mesir, 2004,Jilid. 11, hal. 366

[8] Abu al-Khair Nashiruddin Abdullah bin Umar al-Baydlawi. Itulah nama lengkap beliau. Beliau adalah salah seorang ulama yang sangat mendalami dalam bidang ilmu tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh, mantiq, dan sastra Arab. Beberapa kitap populer karangan beliau ialah kitab ushul fiqh al-Minhaj, dan dalam kitab tafisr Baydlawi. Beliau wafat pada tahun 691 H

[9] Ibnu Hajar al-Atsqolany, Fathu al-Bari Bi Syarhi Shahih al-Bukhori, 1/13

[10] Al-Qadli Thahir bin Abdillah bin Thahir bin Umar al Thabbari. Itulah nama lengkap beliau. Beliau merupakan Intelektual muslim yang sangat menguasai terhadap intisari madzhab Syafi’i dan salah satu karya beliau ialah Syarh Mukhtashar al-Muzami. Beliau wafat pada tahun 450 H. Yang mana ketika itu beliau berusia 102 tahun.

[11] Nama lengkap beliau ialah Abu al Qasim ‘Ali bin Abi Nashr Abd al Sayyid bin Muhammad bin Abd al Wahid bin Shabbagh al Baghdadi. Menurut Ulama Binu Aqil, beliau adalah salah satu ulama yang cukup memenuhi syarat-syarat untuk menjadi mujtahid mutlak seperti imam al Syafi’i. Beliau mengarang beberapa kitab, salah satunya ialah al-Syamil al-Kabir Syarh Mukhtashar al Muzanni. Beliau wafat tahun 477 H

[12] Abdul Haq, Ahmad Mubarok, Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh : telaah kaidah fiqh konseptual, Surabaya, Santri Salaf Press, Cet. Ke-8, 2017, hal. 98

[13] Nama lengkap beliau ialah Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali al-Syafi’i al Thusi. Beliau lahir di Thus daerah Palestina pada tahun 450 H. Beliau adalah ulama yang dianggap oleh ulama ulama pada zamannya sebagai ulama yang terlalu cerdas, karena beliau hampir menguasai seluruh ilmu secara lengkap termasuk filsafat. Karya beliau yang terkenal ialah Ihya ‘Ulum al-Din. Beliau wafat pada tahun 505 H.

[14] Jalal al-Din al Suyuthi, al-Asybah wa al Nazha’ir, Dar al Kitab al Arabi, Cet. Ke-4, 1998, hal. 102.

[15] Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni, Kitab al-Qawa’id, Riyadh, Maktabah al-Rusydu & Syirkah al-Riyadl, jilid. 1, 1997, hal. 213

[16] Abdul Haq, Ahmad Mubarok, Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh : telaah kaidah fiqh konseptual, hal. 105

[17] Jalal al-Din al Suyuthi, al-Asybah wa al Nazha’ir, hal. 93

[18] Abdullah bin Sulaiman al-Jarhazi, al-Mawahib al-Saniyyah, Beirut, Lebanon, Dar al-Fikr, Cet. Ke-1, 1997, hal. 179-180

[19] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyyah, Maktabah al-Sa’adiyah Putra, Jakarta, 1927, hal. 22

[20] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyyah, hal. 23

[21] Kinayah adalah istilah bagi kata yang mempunyai makna ganda. Makna yang pertama adalah makna yang sudah membias (makna lazim) dari makna asal atau dikenal dengan malzum-nya. Seperti kata “panjang sarung pedangnya”, yang memiliki makna kedua yaitu makna lazim yang berarti orang yang tinggi.

[22] Pembagian lengkapnya, silahkan lihat Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni, Kitab al-Qawa’id, hal. 254-256

[23] Ijab-qabul adalah ungkapan persetujuan melakukan transaksi.

[24] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyyah, hal. 24

[25] Abdul Mujib, al-Qowa-idul Fiqhiyyah, hal. 19

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baca ini Sebelum kalian ikut Trip !!!

Anti Sinonimitas pada Al-Qur'an dalam Perspektif Bintu al-Syathi’