TAKWIL PADA HADIS-HADIS NABI MUHAMMAD SAW

     TAKWIL PADA HADIS-HADIS NABI MUHAMMAD SAW

 

A.    Pengertian Takwil

Takwil secara etimologi berarti kembali.[1] Sebagaimana Firman Allah SWT :

وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِه (سورة آل عمران:7(

 

Artinya : Dan untuk mencari-cari kembalianya (takwilnya). (Q.S. Ali Imran : 7).

Maksudnya dari pengertian Takwil di atas adalah sesuatu yang dikembalikan kepadanya (Al-Qur’an). Sedangkan secara terminologi adalah membawa makna lafadz kepada makna lain yang tidak sama dengan makna zhahirnya, namun demikian ada kemungkinan juga lafadz tersebut mempunyai makna secara zhahir. Takwil yang benar adalah takwil dengan membawa lafadz kepada makna lain karena ada dalil yang menunjukkan kepada makna lain tersebut.[2]

       Takwil sendiri diambil dari bentuk masdar bahasa arab kata kerja atau fi’il awwala-yuawwilu yang berarti mengembalikan. Dalam kitab al-Hudud al-Aniqah wa al-Ta’rifat al-Daqiqah karya Zain al-Din Abu Yahya al-Saniki bahwa sampai abad kelima telah ditemukan kata takwil memiliki dua pengertian.[3]

       Pertama, takwil bermakna al-aqibah wa al-marja’ wa al-mashir (akibat, tempat rujukan dan tempat kembali). Kedua, takwil bermakna al-tafsir wa al-bayan (tafsir dan penjelasannya).

       Adapun dalil yang menunjukkan makna takwil yang pertama itu terdapat dalam firman Allah SWT yang berbunyi :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (سورة النساء:59)

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa : 59).

 

Dan dalil makna takwil yang kedua yang berarti tafsir dan penjelasannya ialah firman Allah SWT dalam surat Yusuf ayat 36 yang berbunyi :

وَدَخَلَ مَعَهُ السِّجْنَ فَتَيَانِ قَالَ أَحَدُهُمَا إِنِّي أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْرًا وَقَالَ الْآخَرُ إِنِّي أَرَانِي أَحْمِلُ فَوْقَ رَأْسِي خُبْزًا تَأْكُلُ الطَّيْرُ مِنْهُ نَبِّئْنَا بِتَأْوِيلِهِ إِنَّا نَرَاكَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (سورة يوسف: 36)

Artinya : “Dan bersama dia masuk pula dua orang pemuda ke dalam penjara. Salah satunya berkata, “Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur,” dan yang lainnya berkata, “Aku bermimpi, membawa roti di atas kepalaku, sebagiannya dimakan burung.” Berikanlah kepada kami takwilnya. Sesungguhnya kami memandangmu termasuk orang yang berbuat baik. (Q.S. Yusuf : 36)

 

            Makna takwil di sini adalah penjelasan.

            Adapun Hadis Nabi Muhammad SAW, makna takwil yang kedua ini terdapat pada sabda Nabi Muhammad SAW dan diriwayatkan oleh imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya Musnad Ahmad : “Ya Allah, pahamkanlah dia (Ibn Abbas) dalam ilmu agama dan ajarilah dia ilmu tafsir.

 

B.    Takwil Menurut Ulama Mutaakhkhirin

Makna takwil yang ketiga datang dari ulama mutaakhkhirin. Menurut Imam Ibnu Taimiyah (w.728 H) bahwasanya pengertian takwil seluruh ulama sepakat berpendapat ialah mengalihkan suatu lafazh dari maknanya yang rajih (kuat) kepada maknanya yang marjuh (lemah) karena ada indikasi yang menyertainya.[4]

Menurut Al-Jurjani (w. 816 H) beliau berkata dalam kitabnya al-Ta’rifat : “Takwil adalah makna yang diambil dari lafadz yang musytarak (memiliki banyak arti) dengan menggunakan sebagian arti berdasarkan kekuatan logika. Maka dari itu yang anda lakukan dalam menelaah suatu lafadz dan mengalihkan lafazh tersebut kepada pengertian tertentu dengan menggunakan jenis logika, maka berarti anda telah melakukan takwil.”

Adapun pendapat Ibn at-Atsir (w. 606 H) mengenai takwil dalam kitabnya al-Nihayah, takwil adalah mengalihkan teks lafazh dari makna asalnya (secara eksplisit) kepada makna yang memerlukan suatu indikasi yang jika indikasi itu tidak ada, maka tidak perlu mengabaikan makna eksplisit dari teks tersebut.[5]

Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa Hadis yang ditakwil adalah Hadis yang tidak dapat dipahami secara tekstual, akan tetapi dimaknai dengan makna lain.

 

C.    Syarat Takwil yang Benar

            Takwil yang benar memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi agar takwil tersebut menjadi benar. Yaitu:

1.     Takwil itu harus sesuai dengan ketentuan bahasa Arab atau kebiasaan dalam penggunaannya. Setiap produk takwil yang melenceng dari syarat ini, maka takwilnya tidak benar.

2.     Harus ada dalil (indikasi) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dari lafazh tersebut adalah makna yang dipahami secara takwil dari makna yang zhahir (tekstual). Jika dalil ini tidak ada, maka takwilnya batal.

3.     Apabila dalil takwil berdasarkan qiyas, maka qiyas tersebut disyaratkan harus jail (jelas sehingga lansung dapat dipahami) bukan khafi (samar)

4.     Takwil tersebut tidak dihukumi batal berdasarkan zhahir al-nash (teks dalil secara eksplisit)[6]

 

D.    Pendapat Ulama Seputar Takwil                  

 

            Takwil sebagaimana dibahas dalam bidang Ilmu al-Qur’an seputar ayat yang muhkam (teks yang pemahamannya pasti) dan mutasyabih (pengertiannya tidak kongkrit), juga dalam bidang akidah, serta dalam bidang Ilmu Hadits. Sebab Hadits juga ada yang muhkam dan mutasyabih.

  Pendapat para ulama tentang takwil adalah sebagai berikut:

            Ulama yang hidup pada tiga masa generasi terbaik (shahabat, tabi tabi;in) dan generasi setelah mereka sedikit, serta para uluma yang mengikuti pendapat mereka sampai masa kita sekarang ini, dinamakan ulama salaf atau al-mufawwidhah (berserah diri). Mereka menyatakan: “ Kami menyerahkan sepenuhnya makna ayat-ayat mutasyabihat kepada Allah Swt.”

            Ulama yang hidup di akhir abad keempat dan setelahnya serta kalangan yang mengikuti pendapat mereka sampai masa kita sekarang ini, disebut sebegai kalangan Khalaf atau al-mu’’ awwilah (ahli takwil). Mereka menyatakan: “Kami menakwilkan makna ayat-ayat mutasyabihat ini dengan bantuan ayat-ayat yang lain dan asalib al-bayan (metode penjelasan).

            Takwil yang berkenaan dengan nash mutasyabihat ini ada 2:

1.Takwil Ijmali

            Takwil ijmali adalah memalingkan lafadz dari makna dhazir/hakikat (tidak memberi makna hakikat) dan tidak juga memberi/menentukan makna murad (makna yang dimaksud) tetapi menyerahkan makna yang di maksudkan kepada Allah SWT ( tafwidh).

2. Takwil Tafsili

            Takwal tafsili adalah memalingkan lafadz dari makna dhazir/hakikat (tidak memberi makna hakikat ( tidak memberi makna hakikat) dan kemudian memberi/menentukan makna murad (makna yang dimaksud).

            Takwil ijmali adalah metode takwil sebagian Salaf dan takwil Tafsili adalah metode takwil mayoritas ulama khalaf dan sebagian ulama salaf (seperti Ibnu Abbas, Sayyidina Mu’awiyah, Sayyidina ‘Ali dll.)

            Ketika sebagian salaf menerapkan metode takwil ijmali pada nash mutasyabihat. Nash tersebut di palingkan dari makna dhahirnya karena makna dhahir tersebut merupakan satu hal yang mustahil bagi Allah SWT, seperti kata (aidun), di palingkan dari makna dhahirnya yaitu bermakna tangan tetapi tidak di beri makna yang di maksudkan dan hanya menyerahkan kepada Allah ada satu makna yag shahih dan layak dengan kebesarannya sedangkan makna dhahir (tangan/jisim) dari yad tersebut merupakan makna yang mustahil bagi Allah. Hal yang seperti demikian dikenal dengan tafwidh ba’da ta’wil ijmaly.

 

 

            Ulama salaf dan khalaf sepakat memalingkan lafadh mutasyabihat tersebut dari makna dhahirnya, ini merupakan keyakinin bahwa Allah bersih dari sifat-sifat yang khusus pada makhluk (tanzih). Perbedaan keduanya hanya terjadi pada masalah apakah di berikan makna yang maksudnya ataupun tidak diberi makna tetapi di serahkan maksudnya kepada Allah SWT sendiri.

            Imam ath-Thabari dalam tafsir beliau ketika menafsirkan ayatb47 surat az-Zariyat:

            Artinya: Berkatalah Allah SWT yang maha tinggilah perkataannya; demi lagit yang kami tinggikan atapnya dengan kekuatan (kami). Penafsiran seumpama ini di sebutkan oleh ahli takwil. Golongan yang berpendapat demikian meriwayatkan; memberi hadits padaku Ali,..memberi hadits oleh Mu’awwiyah dari Saidina Ali dari Saidina Ibnu Abbas, firman Allah wassamaaa bainanaa haa biaidi, beliau berkata; maksudnya bi quwwah (dengan kekuatan).Memberi hadits oleh basyar,…dari Qatadah, firman Allah  wassamaaa bainanaa haa biaidi, maksudnya bi quwwah (dengan kekuatan)[7]                      

            Imam Suyuthi menyebutkan madzhab ketiga selain dua madzhab di atas; salaf dan khalaf. Ini adalah madzhab kalangan yang moderat. Ibn Daqiq al-Id telah bersikap moderat dengan berkata: “ Apabila takwil tersebut mendekati koridor bahasa Arab, maka tidak ditolak. Namun apabilah jauh, maka kami menangguhkan (tawaqquf) dan mempercayai makna teks yang dimaksud apa adanya disertai sikap tanzih ( menyucikan Allah dari sifat-sifat makhluk-nya). Makna dari lafadz-lafadz (mutasyabihat) ini secara zhahir ( eksplisit) dapat dipahami dalam percakapan bangsa Arab.[8]

E.    Contoh-contoh Takwil dalam Hadis

       Ada beberapa contoh hadis yang ditakwil berserta pandangan para ulama diantaranya sebagai berikut :

E.1.  Contoh Takwil Hadist ( Allah Sakit )

Selain ayat al-Quran, di dalam hadis pun kita sering sekali menemukan lafaz yang sukar untuk dipahami atau lafaz hadis yang mutasyabih (penjelasannya tidak konkrit). Hal ini mendorong para ulama untuk melakukan takwil dalam pemaknaannya. Tujuannya supaya terhindar dari makna yang bertentangan dengan makna ayat al-Quran atau hadis yang lain. Contohnya seperti hadis yang menjelaskan Allah Swt sakit.

عَنْ ابِى هُريْرَةَ ، قَألَ : قَالَ رَسُولُ الله ( صلى الله عليه وسلم ) : ” إِن الله – عَزَّ وَجَلَّ – يَقُولُ يَوْمَ القِيَامَة : يَا بْنَ ادمَ ، مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِى. قَألَ : يَارَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَب العالَمِينَ ؟ قَالَ : َ امَا عَلمْتَ أَنَّ عَبْدى فُلألا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ ، امَا عَلمْتَ انَكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِى عنْدَهُ ؟ يَا بْنَ آَدَمَ ، اسْتَطَعًمْتُكَ فَلَمْ تُطعمْنِى. قَألَ : يَارَب ، وَكَيْفَ أُطعمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَالمنَ ؟ قَألَ : أمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطعَمَكً عَبْدى فُلاَنو فَلَمْ تُطعِمْهُ ، أَمَاَ عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطعَمتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلكَ عنْدى ؟ يَا بْنَ اَدمَ ، اسْتًسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِى .
قَالَ : يَارَبِّ ، كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ العالَمَيَنَ ؟ قَالَ :اسْتَسْقَاكَ عبْدِى فُلاَنو فَلَمْ تَسْقِ! أَمَاْ إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى لما.

Dari sahabat Abu Hurairah, Rasulullah Saw Bersabda dalam hadis qudsi, “Sesungguhnya Allah (dalam hadits Qudsi) berfirman: “Hai Anak Cucu Adam, Aku sakit tetapi kamu tidak menjenguk-Ku”. Lalu berkata (Anak Cucu Adam): “Ya Rab, bagaimana aku menjenguk Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?”

Allah menjawab: “Apakah engkau tidak mengetahui, sesungguhnya ada hamba-Ku Fulan sedang sakit tetapi engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau tahu sesungguhnya ketika engkau menjenguknya Aku pun berada di sisinya”. (Kemudian Allah kembali berfirman)
“hai anak cucu Adam, Aku kelaparan tetapi engkau tidak memberi-Ku makan”. Menjawab (Anak cucu Adam): “Ya Rab, bagaimana aku memberi-Mu makan sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?”

Allah menjawab: “Apakah engkau tidak mengetahui sesungguhnya kelaparan hamba-Ku si Fulan tetapi engkau tidak memberinya makan, tidakkah engkau tahu sesungguhnya ketika engkau memberinya makan di sana juga aka Aku”. (lalu Allah berfirman) Hai anak cucu Adam, Aku haus tetapi engkau tidak memberi-Ku minum”.

Menjawab (Anak Cucu Adam): “Ya Rab, bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah menjawab: “Engkau (tahu) hamba-Ku meminta minum kepadamu tetapi tidak engkau berikan kepadanya, tidakkah engkau tahu ketika engkau memberinya minum di sana pun ada Aku”. (hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ibn Hibban dan al-Baihaqi).

Terkait hadis di atas, Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Al-Thuruq al-Shahihah fi Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyah mengutip pendapat Ibn Jama’ah (w.727 H) yang berbendapat: “Ulama bersepakat dalam menakwilkan hadis tersebut, Karena Allah Swt menyatakan bahwa Diri-Nya sakit, meminta minum dan makan. Imam Nur al-Din al-Malaharawi al-Qari (w. 1014 H) berkata hadis: “Aku sakit namun kamu tidak menjengukku,” secara lafaz atau tekstual maknanya adalah Allah Swt sakit.

Oleh karena itu hadis tersebut harus ditakwil karena Allah tidak pernah menyerupai makhluk yang memiliki sifat rendah dan lemah. Maka maksud dalam hadis ini adalah “Hamba Allah yang sedang sakit” bukan Allah itu sendiri. Alasan penisbatan pada Diri-Nya dalam perkataan ini merupakan bentuk penghormatan-Nya terhadap hamba-Nya, yaitu dengan cara menempatkan hamba itu dalam kedudukan Dzat-Nya.

Lebih lanjut Ali Mustafa Yaqub mengatakan, ketika seseorang menjenguk kerabatnya yang sakit maka seolah-olah ia menjenguk Allah Swt. Artinya perbuatan tersebut merupakan sebuah kemulian dan Allah Swt akan membalasnya dengan pahala yang lebih utama. “Tentu kamu akan menemukan-Ku ” yaitu ridha-Ku. “Tentu kamu akan menemukan-Ku di sisinya”, artinya kamu akan menemukan rahmat, karunia dan pahala-Ku pada saat kamu menjenguknya dan memberi makan serta minum kepadanya. Hal ini juga memberikan isyarat bahwa Allah Swt lebih dekat dan berpihak kepada orang yang lemah dan miskin.

Secara umum makna hadis qudsi ini adalah anjuran kepada siapa saja untuk senantiasa menjeguk saudara, kerabat dan siapapun yang sedang sakit. Apalagi orang yang memiliki kewajiban untuk merawat orang sakit seperti anak yang merawat orang tuanya ataupun sebaliknya. Maka rawatlah mereka dengan tulus dan penuh kasih sayang. Karena sungguh pahala dan rahmat Allah Swt yang luas akan menyertai mereka semua. Semoga kita termasuk orang-orang yang dapat melakukan perkara mulia ini. Masih banyak lagi hadis lainnya yang butuh pada takwil. Seperti, hadis Allah Swt turun ke langit dunia, hadis Allah Swt tertawa dan lain-lain. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

 

 

E. 2. Contoh Takwil Hadis ( Allah Turun Ke Langit Dunia )

Ada seseorang yang berusaha untuk mem-bagaimana-kan sifat-sifat Allah Ta’ala dengan akalnya. Dia berusaha berangan-angan untuk mem-visualisasi-kan sifat Allah Ta’ala. Dan ketika akalnya tidak sampai, dia serta merta menolak sifat Allah Ta’ala tersebut. Padahal telah dimaklumi, kita tidak memiliki ilmu tentang hakikat sifat-sifat Allah Ta’ala yang sebenarnya. Karena Allah Ta’ala hanya memberitahukan sifat-sifatNya saja, namun tidak pernah memberitahukan bagaimana hakikat sebenarnya dari sifat-sifat tersebut.

Contohnya adalah seseorang yang menolak sifat nuzul (turunnya Allah ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir) hanya karena tidak dapat dijangkau oleh visualisasinya. Orang tersebut mengatakan, ”Dunia ini ‘kan bundar, malam di suatu tempat dan siang di tempat yang lain. Kalau di Indonesia malam, di Eropa masih siang. Dan begitu seterusnya di belahan dunia yang lain. Kalau  Allah turun pada sepertiga malam, maka pekerjaan Allah hanya turun-turun saja setiap waktu bagi seluruh penduduk dunia. Karena waktu sepertiga malam terakhir berganti-ganti di seluruh dunia, sedangkan Allah itu hanya satu.” Demikianlah, dia berusaha untuk menggambarkan turunnya Allah Ta’ala ke langit dunia. Dan ketika akalnya tidak mampu, dia pun menolak dan mengingkari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda :

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

”Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, ’Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku penuhi. Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 1808)

Meyakini Sifat “Nuzul” adalah Ijma’ (Konsensus) Ahlus Sunnah

Hadits-hadits yang menjelaskan tentang turunnya Allah Ta’ala ke langit dunia diriwayatkan oleh kurang lebih dua puluh delapan sahabat , sehingga mencapai derajat mutawatir. Oleh karena itu, ahlus sunnah menetapkan dan meyakini sifat nuzul bagi Allah Ta’ala, bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia tanpa menyerupakannya dengan satu pun dari makhluk-Nya dan tanpa mem-visualisasikan bagaimanakah bentuk (cara) dan hakikatnya. Hal ini adalah salah satu ijma’ (konsensus) ahlus sunnah.[9]

Ibnu Abi Zamanin Al-Maliki rahimahullah (wafat tahun 399H) berkata,

وَأَخْبَرَنِي وَهْبٌ عَنْ اِبْنِ وَضَّاحٍ، عَنْ زُهَيْرِ بْنِ عُبَادَةَ قَالَ: كُلُّ مَنْ أَدْرَكْتُ مِنْ اَلْمَشَايِخِ: مَالِكٍ وَسُفْيَانَ وَفُضَيْلِ بْنِ عِيَاضٍ وَعِيسَى وَابْنِ اَلْمُبَارَكِ وَوَكِيعٍ كَانُوا يَقُولُونَ: اَلنُّزُولُ حَقٌّ

 “Mengabarkan kepadaku Wahb, dari Ibnu Wadhdhah, dari Zuhair bin ‘Ubadah, beliau berkata, “Semua guru yang aku temui, yaitu Malik, Sufyan, Fudhail bin ‘Iyadh, ‘Isa, Ibnul Mubarak, dan Waki’, mereka semua mengatakan, “An-nuzuul adalah haq (benar).”

Ibnu Khuzaimah rahimahullah (wafat tahun 311 H) berkata,

بَابُ ذِكْرِ أَخْبَارٍ ثَابِتَةِ السِّنْدِ صَحِيحَةِ الْقَوَامِ رَوَاهَا عُلَمَاءُ الْحِجَازِ وَالْعِرَاقِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نُزُولِ الرَّبِّ جَلَّ وَعَلَا إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا كُلَّ لَيْلَةٍ، نَشْهَدُ شَهَادَةَ مُقِرٍّ بِلِسَانِهِ، مُصَدِّقٍ بِقَلْبِهِ  ، مُسْتَيْقِنٍ بِمَا فِي هَذِهِ الْأَخْبَارِ مِنْ ذِكْرِ نُزُولِ الرَّبِّ مِنْ غَيْرِ أَنْ نَصِفَ الْكَيْفِيَّةَ، لِأَنَّ نَبِيَّنَا الْمُصْطَفَى لَمْ يَصِفْ لَنَا كَيْفِيَّةَ نُزُولِ خَالِقِنَا إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا، أَعْلَمَنَا أَنَّهُ يَنْزِلُ وَاللَّهُ جَلَّ وَعَلَا لَمْ يَتْرُكْ، وَلَا نَبِيُّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ بَيَانَ مَا بِالْمُسْلِمِينَ الْحَاجَةُ إِلَيْهِ، مِنْ أَمْرِ دِينِهِمْ فَنَحْنُ قَائِلُونَ مُصَدِّقُونَ بِمَا فِي هَذِهِ الْأَخْبَارِ مِنْ ذِكْرِ النُّزُولِ غَيْرِ مُتَكَلِّفِينَ الْقَوْلَ بِصِفَتِهِ أَوْ بِصِفَةِ الْكَيْفِيَّةِ، إِذِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَصِفْ لَنَا كَيْفِيَّةَ النُّزُولِ وَفِي هَذِهِ الْأَخْبَارِ مَا بَانَ وَثَبَتَ وَصَحَّ: أَنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا فَوْقَ سَمَاءِ الدُّنْيَا، الَّذِي أَخْبَرَنَا نَبِيُّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يَنْزِلُ إِلَيْهِ، إِذْ مُحَالٌ فِي لُغَةِ الْعَرَبِ أَنْ يَقُولَ: نَزَلَ مِنْ أَسْفَلَ إِلَى أَعْلَى، وَمَفْهُومٌ فِي الْخِطَابِ أَنَّ النُّزُولَ مِنْ أَعْلَى إِلَى أَسْفَلَ

“Pembahasan tentang berita-berita (hadits) yang valid (shahih), diriwayatkan oleh para ulama Hijaz dan Irak dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang turunnya Allah ke langit dunia setiap malam. Kami bersaksi dengan persaksian lisan dan meyakini (membenarkan) di dalam hati tentang isi (kandungan) ini yaitu turunnya Allah Ta’ala tanpa kita gambarkan bagaimana bentuknyaHal ini karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan kepada kita bagaimana bentuk turunnya Rabb kita ke langit dunia. Rasulullah (hanya) memberitahukan  kepada kita bahwa Allah turun. Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meninggalkan suatu penjelasan tentang perkara agama mereka yang dibutuhkan oleh kaum muslimin.

Oleh karena itu, kita mengatakan dan membenarkan isi kandungan hadits ini yang menyebutkan turunnya Allah ke langit dunia tanpa membebani diri untuk menggambarkan bagaimanakah bentuknya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menggambarkan kepada kita bagaimanakah cara (bentuk) turunnya Allah.

Dalam berita-berita (hadits) ini terdapat perkara yang jelas dan valid bahwa Allah Ta’ala di atas langit dunia, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia. Karena mustahil dalam bahasa Arab dikatakan “turun dari bawah ke atas”. Sedangkan yang dipahami dalam pembicaraan (bahasa Arab) adalah turun itu dari atas ke bawah.” [10]

Abu ‘Utsman Ash-Shabuni rahimahullah (wafat tahun 449 H) membawakan suatu riwayat dari Ishaq bin Ibrahim (Ibnu Rahuyah),

“Pada suatu hari Ibnu Rahuyah menghadiri majelis gubernur Abdullah bin Thahir. Ibnu Rahuyah ditanya tentang hadits nuzul, ‘Apakah hadits itu shahih?’ Ibnu Rahuyah berkata, ‘Iya.’

Maka sebagian ajudan gubernur Abdullah pun bertanya, ‘Wahai Abu Ya’qub (yaitu Ibnu Rahuyah). Apakah Engkau meyakini bahwa Allah Ta’ala turun setiap malam?’ Ibnu Rahuyah berkata, ‘Iya.’ Dia berkata, ‘Bagaimana cara Allah turun?’

Ibnu Rahuyah pun berkata kepadanya, ‘Tetapkan (yakini) dulu bahwa Allah ada di atas, baru akan aku jelaskan tentang turunnya Allah.’

Dia pun berkata, ‘Aku menetapkan bahwa Allah di atas.’

Kemudian Ibnu Rahuyah berkata, ‘Allah Ta’ala berfirman :

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا

“Dan datanglah Rabb-mu, dan malaikat berbaris-baris.” (QS. Al-Fajr [89]: 22)

Maka sang gubernur berkata, ‘Wahai Abu Ya’qub (Ibnu Rahuyah), bukankah hal itu terjadi pada hari kiamat?’

Ibnu Rahuyah pun berkata :

أعز الله الأمير، ومن يجيء يوم القيامة من يمنعه اليوم؟

Semoga Allah memuliakanmu wahai gubernur. Siapa yang (berkuasa) untuk datang pada hari kiamat (yaitu Allah, pen.), maka siapakah yang mampu mencegah-Nya (untuk turun ke langit dunia) setiap malam?’[11]

Dari kutipan-kutipan di atas, kita mengetahui bahwa ahlus sunnah menetapkan dan meyakini turunnya Allah Ta’ala ke langit dunia, yang terkait dengan kehendak dan hikmah-Nya. “Turun” yang dimaksud adalah turun yang hakiki, sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala, tidak serupa dengan satu pun makhluk-Nya.  Oleh karena itu, ahlus sunnah pun berdalil dengan hadits-hadits nuzul untuk menunjukkan ketinggian Dzat Allah Ta’ala di atas seluruh makhluk-Nya[12].

E. 3. Contoh Takwil Hadis (Allah tertawa)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «يَضْحَكُ اللهُ إِلَى رَجُلَيْنِ، يَقْتُلُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ كِلَاهُمَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ»، فَقَالُوا: كَيْفَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «يُقَاتِلُ هَذَا فِي سَبِيلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيُسْتَشْهَدُ، ثُمَّ يَتُوبُ اللهُ عَلَى الْقَاتِلِ، فَيُسْلِمُ، فَيُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيُسْتَشْهَدُ (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Allah tertawa kepada dua orang yang salah satunya membunuh yang lain, sedangkan kedua-duanya (akhirnya) masuk surga. Orang yang satu berperang di jalan Allah, lantas ia terbunuh (di tangan laki-laki kedua). Kemudian Allah menerima taubat si pembunuh (karena masuk Islam), lalu si pembunuh tadi akhirnya juga mati syahid (di jalan Allah)”.Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2826, Muslim no. 1890.[13]

 

pendapat ulama Tentang Hadis ini

Ibn al-Jauzi (w. 597 H) berkata: "Mayoritas ulama salaf tidak menjelaskan makna Hadis seperti ini. Mereka mengartikan apa adanya. Dalam hal ini harus diperhatikan kaidah sebelum mengartikannya. Kaidah tersebut adalah tidak boleh ada sifat baru bagi Allah, dan sifat-sifat-Nya tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Maka, memaknai Hadis tersebut adalah tidak diketahui penafsirannya. "[14]      

Para ulama menetapkan sifat tertawa sebagaimana dhahirnya tanpa menafikkannya, menta’wilkannya (baca : mentahrifnya), atau menyamakannya dengan sifat-sifat makhluk. Allah ta’ala berfirman :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].

Tentang masalah ini, Ibnu Khuzaimah rahimahullah (w. 311 H) berkata :

باب ذكر إثبات ضحك ربنا عز و جل. بلا صفة تصف ضحكه جل ثناؤه لا ولا يشبه ضحكه بضحك المخلوقين وضحكهم كذلك بل نؤمن بأنه يضحك كما أعلم النبي ونسكت عن صفة ضحكه جل وعلا إذ الله عز و جل استأثر بصفة ضحكة لم يطلعنا على ذلك فنحن قائلون بما قال النبي مصدقون بذلك بقلوبنا منصتون عما لم يبين لنا مما استأثر الله بعلمه

“Bab : Penyebutan tentang Penetapan Sifat Tertawanya Rabb kita ‘azza wa jalla. (Yaitu dilakukan) tanpa sifat yang mensifatkan tertawa-Nya ‘azza wa jalla, tanpa menyerupakan tertawa-Nya dengan tertawa makhluk-makhluk-Nya. Akan tetapi kita mengimani bahwa Allah tertawa sebagaimana yang diberitahukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kami diam (tak berkomentar) tentang sifat tertawa-Nya ‘azza wa jalla karena Allah memang tidak memberitahukan kepada kami tentang (kaifiyah) sifat tertawa-Nya. Kami hanyalah mengatakan apa-apa yang dikatakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, membenarkannya dengan hati-hati kami serta diam terhadap apa-apa yang tidak dijelaskan kepada kami di antara hal-hal yang hanya diketahui oleh Allah dengan ilmu-Nya” [At-Tauhiid, 2/563].

Pendapat para ulama tentang pengertian Hadis ini sebagai berikut:

Imam al-Qurtubi (w. 463 H) berkata: "Makna Allah tertawa kepadanya adalah Allah Swt menerimanya dengan rahmat, keridhaan, pemaafan, dan ampunan. Kata aldhahk (tertawa) di sini adalah majaz (konotasi). Karena dalam hal tertawa, tidak layak menyandangkan kepada Allah yang ada pada manusia. Sebab, tidak ada sesuatu pun yang seperti Allah dan segala sesuatu tidak ada yang menyerupai-NYA.

Menurut Imam al-Bukhari, tertawanya Allah adala rahmatnya Allah. Sedangkan menurut al Khattab tertawa di sini adalah pemberitahuan tentang keridhaan dan balasan Allah yang terbaik kepada hamba-Nya. Ini merupakan bentuk gaya bahasa yang diperbolehkan Maksudnya di sini adalah reaksi akhir setelah tertawa dalam pengertian kita. Yaitu pemberian pahala secara teratur kepada hamba-Nya. Artinya, Allah menampakkan kemuliaan, karunia, dan kehadiran-Nya kepada hamba Nya. Karena orang yang senang terhadap sesuatu yang ada di hadapannya, ia akan berseri-seri dan tertawa saat melihatnya. Ini merupakan bentuk penyebutan sabab (tertawa) namun yang dimaksud adalah musabbab (senang).Gaya bahasa ini lumrah digunakan.[15]

Pada saat hal tersebut disandangkan kepada Allah Swt, maka maksudnya adalah Dia menampakkan dengan sangat penerimaan dan keridhaan-Nya. Seperti firman Allah (dalam Hadis Qudsi): "Jika ia (manusia) datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan menyambutnya da bergegas." Ini merupakan bentuk mubalaghah dalam hal cepatnya balasan dan penerimaan.Siapa yang memahami tertawa di sini secara tekstual (denotasi), maka telah berbuat bid’ah dan mempersonifikasikan Tuhan (mujassim).

F.    Pendapat Kami

Itulah tadi pendapat para ulama salaf dan khalaf tentang sikap mereka dalam memahami sifat Allah menyangkut perbuatan yang tercantum dalam Hadis-hadis Nabi, atau tentang maksud dari Hadis-hadis yang mutasyabihah - jika istilah ini benar. Dalam hal ini kami berpendapat sebagai berikut:

Hadis-hadis mutasyabihat terbagi menjadi dua macam;

Pertama; Hadis-hadis mutasyabihat yang memiliki riwayat lain yang menjelaskan maksud Hadis-hadis mutasyabihat tersebut. Apabila hal ini terdapat maka kita wajib mengartikan Hadis-hadis pertama dengan Hadis-hadis kedua. Terkadang riwayat lain itu masih satu kesatuan dengan Hadis pertama, namun terkadang riwayat lain itu terdapat dalam Hadis lain. Contohnya adalah Hadis Qudsi "Aku sakit". Kalimat yang menjelaskan tentang maksud pernyataan ini tercantum dalam matan (teks) Hadis ini pula, dimana Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya hamba-Ku Fulan bin Fulan itu sakit."

Dalam Hadis seperti ini, kata "Maridhtu (Aku sakit)" harus dipahami berdasarkan kalimat dalam matan Hadis ini, "Sesungguhnya hamba-Ku Fulan bin Fulan itu sakit."Pemahaman ini mirip dengan istilah mujmal (maknanya global) dan mubayyin (maknanya menjelaskan) dalam Hadis.

Demikian pula dengan lafadz "Kamu tidak menengok-Ku." Dalam matan Hadis yang sama terdapat redaksinyang menjelaskan maksud lafadz tersebut, yaitu: "Andai kamu menengoknya, tentu kamu akan mendapati-Ku berada di sisinya."

Ada contoh lainnya yang senada dengan Hadis di

atas, yaitu sabda Nabi Saw:

قلوب العباد بين أصابع الرحمن[16]

"Hati hamba-hamba Allah itu berada di antara jari berada di antara jari jemari al-Rahman (Allah).

 

Rasulullah Saw telah menjelaskan maksudnya dalam riwayat yang sama, yaitu:

((يقلبها كيف يشاء))

"Dia membolak-balikkan hati itu semau-Nya.

Kedua; Hadis-hadis yang memuat sifat-sifat Allah berupa perbuatan yang maksudnya tidak tercantum dalam riwayat Hadis tersebut. Misalnya Hadis, "Tuhan turun ke langit."Berkenaan dengan Hadis seperti ini, kita harus mengimaninya sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw tanpa membahas bagaimana caranya, tanpa menyerupakannya (dengan makhluk), tanpa menghilangkan maknanya, tanpa mengubahnya, dan tanpa menakwilkannya. Sebab, sifat-sifat Allah tersebut merupakan bagian dari hal-hal gaib yang tidak dapat kita ketahui kecuali dari Allah Swt dan Rasulullah Saw. Sedangkan dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya tidak menjelaskan maknanya.

Maka, kita tidak dapat memahaminya kecuali sebagaimana yang disampaikan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya.Sehingga apabila ada ulama mengatakan bahwa nuzul (turun) itu memiliki beberapa makna, namun kita tetap tidak mampu menentukan makna yang manakah yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya dari makna-makna tersebut. Tidak ada cara lain bagi kita kecuali mengimaninya sebagaimana yang disampaikan oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw.

Cara memahami seperti ini menurut kami adalah yang paling berhati-hati. Apalagi masalah ini masuk dalam kategori akidah. Tentunya kita harus bersikap hati-hati dan mengikuti apa yang disampaikan oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw tanpa ada campur tangan dari pendapa dan pemikiran kita.

Cara yang paling utama dan paling hati hati dalam permasalahan seperti ini adalah kita katakan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Jalal al Din al Mahalli (w,864 H) wahimahullah tentang firman Allah Swt "Alif Lam Mim";"Allah lebih mengetahui makna yang dikehendaki-Nya dari lafadz ini(Allah a'lam bi murodih bi dzalik). Begitu pula mengenai sabda Rasulullah Saw "Tuhan turun ke langit, dapat kita katakan: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui makna yang dikehendaki oleh keduanya dari lafadz ini."

 



[1] Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Shadir vol. Xi, hal. 32

[2] Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, hal. 32

[3] Zain al-Din Abu Yahya al-Saniki, al-Hudud al-Aniqah wa al-Ta’rifat al-Daqiqah, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1411 H, hal.10

[4] Ibnu Taimiyah, al-Iklil fi al-Mutasyabih wa al-Ta’wil, Iskandaria : Dar al-Iman, tt, hal. 27

[5] Ibn al-Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyah, 1979, jilid 1, hal. 80

[6] Muhammad Hasan Hitou, al-wajiz fi Ushul al-Tasyri’ al-Islami, Kwait: Dar al-Dhiya li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 2005, hal. 237

[7] Imam Ath-Thabari, Tafsir Thabari , Beirut: Muassis ar-Risalah, 2000, hal.438

[8] Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus,Cet. Ke-3, 2019, hal.30

[9] Fathu Rabbil Bariyyah hal. 54 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.


[10] Ushuulus Sunnah, 1/113.


[11] Aqidatus Salaf  wa Ash-haabul Hadits, 1/13.

[12] Al-Ibaanah ‘an Ushuul Ad-Diyaanah hal. 414-421, karya Abul Hasan ‘Ali bin Isma’il Al-Asy’ari dan Tahdzib Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah hal. 57, karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin rahimahumullah.


[13] Sahih Bukhori, No.2826

[14] Ali Mustofa Yakub, Cara Benar Memahami Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2019, hal.45

[15] Yaqub, Ali Mustofa. 2019. Cara Benar Memahami Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, hal.48

[16] Sahih Muslim, IV/2045

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NIAT DALAM KAJIAN FIKIH

CATPER GUNUNG SLAMET VIA PERMADI

Baca ini Sebelum kalian ikut Trip !!!